"Membalik Stigma Muslim Milenial" Fenomena Hijrah Pemuda

PojokNasional. Fenomena kembali ke agama sebagai jalan hidup kerap diasosiasikan dengan kaum paruh baya yang telah mapan. Kendati demikian, beberapa tahun belakangan semangat serupa juga kian tampak di kalangan pemuda kotakota besar di Indonesia.
Pengunjung Hijrah fest berdoa bersama saat ustaz memimpin doa usai mengisi dakwah dalam acara Hijrah Fest 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, .

Pengunjung Hijrah fest berdoa bersama saat ustaz memimpin doa usai mengisi dakwah dalam acara Hijrah Fest 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta,.

Fenomena kembali ke agama sebagai jalan hidup kerap diasosiasikan dengan kaum paruh baya yang telah mapan. Kendati demikian, beberapa tahun belakangan semangat serupa juga kian tampak di kalangan pemuda kotakota besar di Indonesia. Wartawan-wartawati Republika mencoba menangkap geliat gerakan ini di sejumlah daerah. Berikut tulisan bagian kelima.

Fenomena generasi milenial Muslim yang tak ragu menunjukkan semangat beragama kian kasat mata di Indonesia. Sejak dua tahun belakangan, di kota-kota besar, seperti Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta, acara-acara yang menggabungkan gairah anak muda dan keislaman tersebut selalu disesaki pengunjung. Apakah ini sekadar fenomena lokal?

Pada 2017, lembaga survei terkemuka, Pew Research melakukan survei keagamaan di Amerika Serikat. Para pemeluk dari berbagai umur dan latar belakang disigi untuk mengetahui kecenderungan masing-masing komunitas. Secara keseluruhan, di Amerika Serikat tren meninggalkan agama resmi. Kendati demikian, ada yang janggal dan keluar pakem pada komunitas Muslim AS.

Pada agama-agama lain, selalu lebih banyak kaum lebih tua yang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka dibandingan para milenial yang lahir pada rentang 1980-2000-an. Pada Kristen Evangelis, 80 persen orang tua menganggap agama sangat penting dibandingkan 75 persen kaum milenial.

Pada Protestan, nilainya 55 persen dibandingkan 45 persen. Sementara di Katolik, ketimpangannya sangat tajam, 61 persen orang tua dibandingkan 46 persen generasi milenial.

Sementara di komunitas Muslim, tren itu berbalik. Justru, lebih kaum banyak milenial yang menganggap agama sangat penting dalam kehidupan mereka. Sebanyak 66 persen generasi milenial Muslim AS menganggap penting agama dibandingkan 64 persen pada golongan tua.

Saat para milenial agama lain persentase kerajinannya lebih rendah dari golongan tua, di Islam persentasenya terbalik. Justru, generasi milenial (44 persen) yang lebih sering ke masjid ketimbang golongan tua (42 persen). Yang juga janggal pada komunitas Islam adalah jarak persentase persepsi keberagamaan kaum milenial dan senior mereka tak sedemikian jauh dibandingkan komunitas beragama lain.

Bagaimana di negara-negara di mana Islam adalah bagian dari status quo, sementara kita paham bahwa kemapanan bukan hal yang disukai betul oleh anak-anak muda? Pada 2015, Tabah Foundation dari Uni Emirat Arab bekerja sama dengan Zogby Research Service menggelar survei besar-besaran tentang pandangan generasi milenial Muslim. Negara-negara yang dijadikan sampel adalah Maroko, Mesir, UEA, Arab Saudi, Yordania, Palestina, Bahrain, dan Kuwait.

Hasilnya ternyata juga membalik asumsi awal soal anak muda. Seratus persen generasi milenial di empat negara (Saudi, Bahrain, Kuwait, Yordania) meyakini agama Islam karena mereka menyimpulkan sendiri kebenaran agama tersebut, bukan semata karena faktor keturunan. Jumlah kaum milenial dengan pandangan serupa adalah 90 persen di Mesir, UEA, dan Palestina; serta 77 persen di Maroko.

Terlepas dari kondisi negara masing-masing, generasi milenial di negara-negara itu sangat sepakat bahwa agama memiliki peran penting untuk masa depan negara mereka. Persentase paling tinggi adalah 93 persen di Kuwait, dan paling rendah 75 persen di Yordania dan 63 persen di Bahrain.

Hal yang juga unik, pandangan religius itu berbanding lurus dengan progresivitas. Sedikitnya 66 persen di Bahrain dan paling banyak 92 persen di Yordania sepakat bahwa agama yang dijalankan di negara mereka menghormati dan memberdayakan perempuan.

Sebagian besar juga menuntut lebih banyak ulama perempuan terlibat dalam penafsiran agama. Sebagian besar juga mendesak agar isu-isu yang disampaikan ulama dan ustadz serta khatib dibuat relevan dengan kondisi terkini.

Kaum milenial Muslim di negara-negara tersebut agaknya memiliki kesadaran bahwa yang dijalankan negara atau institusi agama di negara mereka belum tentu sesuai nilai-nilai Islam. Alih-alih meninggalkan agama sehubungan yang dipraktikkan status quo, generasi milenial Muslim menengok sendiri ke ajaran agama.

Bagaimana di Indonesia? Sejauh ini, belum ada survei komprehensif mengenai tren kaum milenial Muslim di Indonesia. Namun, dalam riset yang dilakukan Muhammad Faisal dari Youth Labs dalam buku Generasi Phi, Memahami Milenial Pengubah Indonesia (2017) ke berbagai kelompok anak muda di berbagai daerah, memang terlihat menguatnya tren keagamaan tersebut.

Lewat wawancara mendalam yang dilakukan Faisal ke sejumlah nara sumber anak muda dalam berbagai kelompok, jawaban soal keagamaan dan ingin membahagiakan orang tua amat menonjol. Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Muhammad Najib Azca, ada pola-pola anak muda yang bisa dibaca melalui gelombang hijrah belakangan.

Ia menuturkan, berhijrah merupakan fenomena sosial yang menandai adanya fase krisis dalam diri manusia, khususnya anak muda. Dalam fase krisis tersebut, seseorang memerlukan jawaban yang kemudian bertransformasi melakukan perubahan, dalam hal ini adalah indikator keagamaannya.

Selain itu, belakangan juga muncul model gerakan keagamaan baru yang mengambil utuh gaya hidup ala Timur Tengah. Dengan begitu, terdapat beberapa ekspresi atau artikulasi keagamaan yang akhirnya kontradiktif dengan adat yang ada. "Anak muda merupakan kelompok yang lebih mudah menerima hal baru dibanding orang tua. Karena, memang ada faktor tertentu berakomodatif terhadap perubahan," ujarnya menegaskan.

Najib mengapresiasi bagaimana hijrah menjadi fenomena di Indonesia. Kendati demikian, kelestarian dan daya tahan gerakan itu juga masih perlu dicermati. Ia mengingatkan, tren gaya hidup bisa bergeser kapan saja ketika tren gaya hidup baru lainnya munucul. "Saya rasa harus kita lihat nanti dan belum bisa menentukan secara konklusif saat ini dan masih sesuatu yang harus diamati jauh," papar Najib.

Bagaimanapun, ia mengatakan, bisa saja hijrah digunakan sebagai cara hidup baru. Meski begitu, alangkah baiknya jika itu tidak hanya berdimensi personal dan ritual, tapi lebih berdimensi sosial, misalnya, jadi lebih peduli pada orang lain, lebih banyak memberikan bantuan pada orang lain. "Jadi, orang tidak hanya berpikir keselamatan individualnya, tapi juga keselamatan atau kesejahteraan dan keadilan sosial," kata Najib.

Sementara, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Prof HM Baharun mengiyakan, belakangan generasi milenial menunjukkan gejala yang tidak biasa. Banyak di antara mereka yang masih berusia remaja sudah memilih untuk hijrah. Hal tersebut tampak dari banyaknya remaja yang mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan.

Ia berpandangan, ada beberapa faktor yang mendorong mereka untuk hijrah. "Pertama, terasa ada semacam kekosongan jiwa bagi sebagian remaja kita yang kemudian melahirkan kejenuhan dan ketidaktenangan meskipun kehidupan telah menjanjikan kesenangan,"

Selanjutnya, remaja masa kini yang hidup di era digital sudah dapat berpikir kritis. Mereka juga dapat mengakses pesan-pesan keagamaan dengan baik melalui sistem informasi yang ada secara bebas. "Apalagi, kini sudah banyak dai remaja milenial yang juga bisa diakses di TV dan online setiap saat, maka lewat inilah kesadaran untuk berhijrah remaja milenial tumbuh berkembang," ujarnya.

Menurut Prof Baharun, kebangkitan generasi milenial Muslim tidak perlu dikhawatirkan. Justru, potensi ini sangat positif untuk dimanfaatkan guna menguatkan NKRI. Dia menyarankan, remaja-remaja yang hijrah tersebut sebaiknya diarahkan untuk ikut mencerdaskan bangsa dan menguatkan arus ekonomi umat.

Sebab, masalah keumatan saat ini hakikatnya hanya dua, yakni kebodohan dan kemiskinan. "Remaja-remaja yang hijrah jangan diarahkan untuk bermain di ranah politik praktis, nanti bisa tawuran lagi seperti sebelum berhijrah. Soal pilihan politik serahkan saja pada pilihan individual masing-masing sesuai hati nuraninya," ujarnya.

Hal yang jelas, fenomena hijrah generasi milenial Muslim di Indonesia telah membuktikan bahwa kaum milenial bukan golongan yang monolitik dan bisa disimpulkan secara satu dimensional. Bahkan, dalam gerakan itu sendiri, ada ciri khas di masing-masing daerah.

Di Bandung, misalnya, gerakannya lebih trendi melalui komunitas hobi. Sementara di Jakarta, ada egalitarianisme yang coba diangkat, di Yogyakarta lebih membumi dengan masyarakat, serta di Jawa Timur tradisionalisme masih mengakar. Seiring waktu, kelanggengan gerakan tersebut tentu masih perlu diuji. Namun, untuk sementara waktu, ia bukan lagi fenomena yang bisa diabaikan. n fuji eka permana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novel Bamukmin Meminta Polisi Agar Tidak Mengizinkan Aksi 212 Tandingan yang Diinisiasi Kapitra Ampera

Pemerintah Dinilai Cukup Lambat Merespons Perkembangan Ekonomi Digital

Menhub Ingin Kembangkan Kapal Bambu Karya ITS